Perusahaan Melarang Pekerjanya Makan di Luar Kantor
Di kantor saya disediakan katering untuk makan siang, tetapi karena makanannya kurang bervariatif dan menurut saya tidak enak (teman saya pernah keracunan) maka biasanya saya makan di dekat kantor atau beli dan memakannya di ruangan. Akan tetapi saat ini diberlakukan peraturan bahwa karyawan dilarang makan di luar kecuali ada surat izin dari atasan. Bagaimanakah hukumnya, apakah hal tersebut dibenarkan? Akan tetapi bagi para manager ke atas tetap bisa makan di luar tanpa memakai surat izin ini. Peraturan ini disosialisasikan hanya dalam waktu 1×24 jam. Terima kasih.
Dari: dini777
Jawaban:
Terima kasih untuk pertanyaan Anda.
Intisari:
Pada dasarnya, pemberian makanan secara cuma-cuma dari perusahaan kepada pekerjanya (dalam hal ini melalui jasa katering) termasuk sebagai fasilitas yang merupakan pendapatan non upah.
Sebagai pendapatan non upah, menurut hemat kami, makanan yang diterima pekerja ini merupakan hak pekerja dan sudah menjadi hak ia pula untuk memanfaatkannya atau tidak. Dalam hal ini, menurut hemat kami, pengusaha tidak dibenarkan untuk melarang pekerja makan siang di luar kantor. Jika ada perbedaan pendapat atau perselisihan antara pengusaha dengan pekerjanya tentang suatu aturan dalam peraturan perusahaan terkait aturan larangan makan di luar, maka perselisihan tersebut dinamakan sebagai perselisihan hak.
Penjelasan lebih lanjut soal upaya hukum yang dilakukan dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini:
Ulasan:
Aturan terkait makan bagi pekerja terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), adalah sebagai berikut:
1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib [Pasal 76 ayat (3) UU Ketenagakerjaan]
- memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
- menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
2. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan]
Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Kami berkesimpulan bahwa makanan itu diberikan secara cuma-cuma oleh pengusaha kepada pekerja melalui jasa katering. Terkait hal ini, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah (“SE Menaker No. 7/1990”) mengkategorikan pemberian makanan secara cuma-cuma dari perusahaan kepada pekerjanya termasuk sebagai fasilitas yang merupakan pendapatan non upah.
Dalam SE Menaker No. 7/1990 dijelaskan bahwa salah satu pendapatan non upah adalah fasilitas. Fasilitas adalah kenikmatan dalam bentuk nyata/natura yang diberikan perusahaan oleh karena hal-hal yang bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, seperti fasilitas kendaraan (antar jemput pekerja atau lainnya); pemberian makan secara cuma-cuma; sarana ibadah; tempat penitipan bayi; koperasi; kantin dan lain-lain.
Sebagai penghasilan/pendapatan non upah, makanan katering yang diterima pekerja ini merupakan hak pekerja dan sudah menjadi hak ia pula untuk memanfaatkannya atau tidak. Dalam hal ini, menurut hemat kami, pengusaha tidak dibenarkan untuk melarang pekerja makan siang di luar kantor.
Apabila Anda keberatan atas peraturan perusahaan yang melarang pekerjanya untuk makan siang di luar katering yang disediakan kantor, maka perselisihan ini dikategorikan sebagai perselisihan hak. Pada dasarnya, jenis Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) itu meliputi (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (“UU PPHI”)):
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 UU PPHI).
Jika memang ada perbedaan pendapat atau perselisihan antara pengusaha dengan pekerjanya, maka keduanya wajib menyelesaikannya terlebih dahulu melalui perundingan bipatrit, termasuk perselisihan hak seperti dalam konteks pertanyaan Anda (lihat Pasal 3 ayat (1) UU PPHI), yakni penyelesaian secara damai antara Anda sebagai pekerja dengan pengusaha.
Apabila perundingan bipartit ini gagal, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Kemudian di antara keduanya akan dilakukan penyelesaian secara mediasi (untuk perselisihan hak) [lihat Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 11 UU PPHI].
Dalam hal perundingan di jalur tripartit ini masih tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU PPHI).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
- Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah.
Rubrik ini diasuh oleh Bpk. Indra Iswara SH MKn (Beliau Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang. Saat ini berkantor di Kota Nganjuk, Jawa Timur)
PengusahaMuslim.com
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial